Rabu, 13 April 2016

Menyisir sejarah

Manusia ketika di dunia selalu mengalami peristiwa yang berarti didalam hidupnya. Sehingga tak dapat dipungkiri jika segala tindakan akan menjadi bukti sejarah orang tersebut entah itu hal yang baik maupun yang buruk. Yang terpenting saat ini adalah apa yang kita lakukan dapat bermanfaat bagi sesama. Karena itulah, tindakan apa yang kita lakukan saat ini merupakan salah satu bukti nyata yang kelak, dapat mempengaruhi kita dalam melakukan keputusan selanjutnya. Manfaatkan kesempatan yang kau miliki kepada dunia ini untuk mengubahnya ke jalan yang lebih baik cari saat ini karena orang yang lebih beruntung adalah orang yang lebih baik dari hari yang lalu. Sejarah selalu mencatat, tindakan orang-orang terdahulu dikenang karena ada sebuah tindakan nyata. Maka, belajarlah dari mereka, baik itu sebuah amalan dan kebaikan yang mereka lakukan atau mempelajari sebuah kesalahan yang pernah mereka lakukan di masa lalu agar dapat mengambil hikmah yang dapat kita hindari kesalahan itu di kemudian hari.

Selasa, 05 April 2016

Tidur bisa dapat pahala ?

 di bulan Ramadhan saat ini, kita sering mendengar ada sebagian da’i yang menyampaikan bahwa tidur orang yang berpuasa adalah ibadah. Bahkan dikatakan ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga dengan penyampaian semacam ini, orang-orang pun akhirnya bermalas-malasan di bulan Ramadhan bahkan mereka lebih senang tidur daripada melakukan amalan karena termotivasi dengan hadits tersebut. Dalam tulisan yang singkat, kami akan mendudukkan permasalahan ini karena ada yang salah kaprah dengan maksud yang disampaikan dalam hadits tadi. Semoga Allah memudahkan dan menolong urusan setiap hamba-Nya dalam kebaikan.
Derajat Hadits Sebenarnya
Hadits yang dimaksudkan,
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah. Diamnya adalah tasbih. Do’anya adalah do’a yang mustajab. Pahala amalannya pun akan dilipatgandakan.”
Perowi hadits ini adalah ‘Abdullah bin Aufi. Hadits ini dibawakan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 3/1437. Dalam hadits ini terdapat Ma’ruf bin Hasan dan dia adalah perowi yang dho’if (lemah). Juga dalam hadits ini terdapat Sulaiman bin ‘Amr yang lebih dho’if dari Ma’ruf bin Hasan.
Dalam riwayat lain, perowinya adalah ‘Abdullah bin ‘Amr. Haditsnya dibawakan oleh Al ‘Iroqi dalam Takhrijul Ihya’ (1/310) dengan sanad hadits yang dho’if (lemah).
Kesimpulan: Hadits ini adalah hadits yang dho’if. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 4696 mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah).
Tidur yang Bernilai Ibadah yang Sebenarnya
Setelah kita menyaksikan bahwa hadits yang mengatakan “tidur orang yang berpuasa adalah ibadah” termasuk hadits yang dho’if (lemah), sebenarnya maknanya bisa kita bawa ke makna yang benar.
Sebagaimana para ulama biasa menjelaskan suatu kaedah bahwa setiap amalan yang statusnya mubah (seperti makan, tidur dan berhubungan suami istri) bisa mendapatkan pahala dan bernilai ibadah apabila diniatkan untuk melakukan ibadah. Sebagaimana An Nawawi dalam Syarh Muslim (6/16) mengatakan,
أَنَّ الْمُبَاح إِذَا قَصَدَ بِهِ وَجْه اللَّه تَعَالَى صَارَ طَاعَة ، وَيُثَاب عَلَيْهِ
“Sesungguhnya perbuatan mubah, jika dimaksudkan dengannya untuk mengharapkan wajah Allah Ta’ala, maka dia akan berubah menjadi suatu ketaatan dan akan mendapatkan balasan (ganjaran).”
Jadi tidur yang bernilai ibadah jika tidurnya adalah demikian.
Ibnu Rajab pun menerangkan hal yang sama, “Jika makan dan minum diniatkan untuk menguatkan badan agar kuat ketika melaksanakan shalat dan berpuasa, maka seperti inilah yang akan bernilai pahala. Sebagaimana pula apabila seseorang berniat dengan tidurnya di malam dan siang harinya agar kuat dalam beramal, maka tidur seperti ini bernilai ibadah.” (Latho-if Al Ma’arif, 279-280)
Intinya, semuanya adalah tergantung niat. Jika niat tidurnya hanya malas-malasan sehingga tidurnya bisa seharian dari pagi hingga sore, maka tidur seperti ini adalah tidur yang sia-sia. Namun jika tidurnya adalah tidur dengan niat agar kuat dalam melakukan shalat malam dan kuat melakukan amalan lainnya, tidur seperti inilah yang bernilai ibadah.
Jadi ingatlah “innamal a’malu bin niyaat”, setiap amalan tergantung dari niatnya.
Semoga Allah menganugerahi setiap langkah kita di bulan Ramadhan penuh keberkahan. Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmatnya, segala kebaikan menjadi sempurna. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam, wal hamdu lillahi robbil ‘alamin.
Rujukan:
1. As Silsilah Adh Dho’ifah, Muhammad Nashiruddin Al Albani, Maktabah Al Ma’arif Riyadh, Asy Syamilah
2. Latho-if Al Ma’arif fil Mawaasim Al ‘Aam minal Wazho-if, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islamiy
3. Syarh Muslim, Abu Zakaria Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah
4. http://www.dorar.net/enc/hadith/نوم الصائم /pt
***

Guru tiga generasi

Generasi terbaik tidak lahir dari
pendidikan yang instan, butuh
persiapan yang panjang untuk
mencetak para penerus generasi selanjutnya yang lebih baik dari generasi saat ini.
Dari persiapan panjang itu, ada
sebuah langkah penting dalam mencetak generasi terbaik, yaitu seorang guru yang terbaik pula. Dari merekalah seorang murid terbaik akan lahir dari tangan dingin sang guru.
Sejarah telah mencatat lahirnya para guru terbaik diantaranya sang filsuf dari yunani, yaitu socrates yang
berhasil mendidik muridnya yang bernama plato. Plato pun berhasil mendidik muridnya yang bernama aristoteles.
Di dunia islam kita juga
mengenal sosok guru yang telah berhasil mendidik muridnya sebut saja bukhari sang ahli hadits terbaik
umat muslim telah mendidik
penerusnya kelak yang dikenang sejarah yaitu muslim yang namanya selalu disandingkan dengan nama
sang guru karena tingkat keilmuannya, bukhari-muslim.
Mencetak generasi terbaik
memanglah tak semudah yang kita bayangkan, namun dari hal terkecil kita dapat memulai perubahan tersebut. Mulailah dari diri kita sendiri, keluargamu, lalu lingkunganmu agar kelak generasi terbaik akan lahir dari tangan dinginmu.